IMPLEMENTASI KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA

 

IMPLEMENTASI KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA

Oleh: Sholehoddin Hasan)*

Abstrak

Kata kunci: Kurikulum, Pendidikan Agama Islam, Karakter

Kurikulum Pendidikan Agama Islam merupakan perangkat mata pelajaran  dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan berupa rancangan pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Pendidikan Agama Islam merupakan usaha sistematis dalam membantu anak didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan  Agama Islam adalah usaha sadar atau kegiatan yang disengaja dilakukan untuk membimbing sekaligus mengarahkan anak didik menuju terbentuknya pribadi yang utama berdasarkan nilai-nilai etika Islam. Sedangkan karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain.

Dari definisi kata kunci ini dapat ditarik pemahaman bahwa implementasi kurikulum Pendidikan Agama Islam dapat membentuk karakter siswa karena kurikulum merupakan pedoman dalam melaksanakan Pendidikan Agama Islam dalam mencapai tujuannya. Tujuan Pendidikan Agama Islam adalah untuk membentuk beberapa karakter yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional.

 

Pendahuluan

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 adalah “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab.” (UU 20 Tahun 2003).

Dalam rangka membangun kehidupan berbangsa dan bernegara tentunya tidak cukup hanya melakukan pembangunan secara fisik saja begitu juga ditentukan pembangunan non fisik yaitu pembangunan sumber daya manusianya (Samego, 2010:8). Dalam hal ini keberhasilan satu bangsa untuk mencapai suatu tujuan tidak hanya ditentukan oleh dimilikinya sumber daya alam saja akan tetapi juga sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Adanya kualitas sumber daya manusia tentu dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan pengelolaan sumber daya alam yang ada.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden RI Pertama Ir. Soekarno sebagai salah seorang pendiri dari Negara dan Bangsa ini, beliau pernah mengemukakan “bahwa membangun suatu bangsa itu tidak harus dimulai dari pembangunan fisik dan ekonomi semata. Akan tetapi yang lebih penting dibangun terlebih dahulu adalah keperibadian suatu bangsa itu sendiri (Yunus Salam, 1972:17). Kepribadian bangsa adalah kepribadian yang telah ada sejak lama. Kepribadian tersebut tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, dalam adat istiadat peraturan hidup yang tumbuh berkembang sejak berpuluh-puluh tahun, beratus-ratus tahun, bahkan berabad abad tahun lalu, jauh sebelum keberadaan suatu bangsa. Jadi kepribadian bangsa Indonesia adalah jati diri bangsa Indonesia yang telah tumbuh berkembang di wilayah Negara Kesatuan Republik (NKRI), yang biasa juga disebut bumi Nusantara. Kita sebagai anak bangsa harus pandai menggali dan menumbuh kembangkan keperibadian tersebut, bahkan sari pati dari kepribadian tersebut telah menjadi dasar falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

Pendidikan Agama Islam sebagai salah satu mata pelajaran di madrasah /sekolah umum mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam penanaman nilai-nilai spiritualitas keagamaan. Penanaman nilai-nilai spiritualitas keagamaan ini terutama ditujukan bagi pembentukan perilaku etis sehingga peserta didik menjadi manusia yang berkarakter. Apabila kita simak bersama, bahwa dalam pendidikan atau mendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu saja, namun lebih jauh dan pengertian itu yang lebih utama adalah dapat mengubah atau membentuk karakter dan watak seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika, estetika maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Namun apa yang terjadi di era sekarang? Banyak kita jumpai perilaku para anak didik kita yang kurang sopan, bahkan lebih ironis lagi sudah tidak mau menghormati kepada orang tua, baik guru maupun sesama (Abdullah, 1995:13).

Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang suka berbagi, kemudian tinggal dalam masyarakat yang suka bergotong royong, suka saling memberi, serta memiliki keyakinan ideologis bahwa setiap pemberian yang dia lakukan akan mendapatkan pahala, maka suka memberi ini akan menjadi karakternya. Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak menekankan sopan santu, tinggal dalam lingkungan yang suka bertengkar dan mengeluarkan makian dan kata-kata kotor, dan tidak memiliki pemahaman ideologi yang baik, maka berkata kotor mungkin akan menjadi karakternya.

Tahapan pembentukan karakter yang dilakukan akan saling mempengaruhi. Mekanismenya bisa diibaratkan roda gigi yang saling menggerakkan. Mengenal sesuatu akan menggerakkan seseorang untuk memahaminya. Pemahaman berikutnya akan memudahkan dia untuk menerapkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan melahirkan kebiasaan. Kebiasaan yang berkembang dalam suatu komunitas akan menjelma menjadi kebudayaan, dan dari kebudayaan yang didorong oleh adanya values atau believe akan berubah menjadi karakter.

Banyak kalangan memberikan makna tentang pendidikan sangat beragam, bahkan sesuai dengan pandangannya masing-masing. Azyumardi Azra, memberikan pengertian tentang "pendidikan" adalah merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien (Azra, 2004:19). Bahkan ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih sekedar pengajaran, artinya, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.

Di samping itu, pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, mental dan moral bagi individu-individu, agar mereka menjadi manusia yang berbudaya, sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara.

Bangkitnya dunia pendidikan yang dirintis oleh Pahlawan KH. Ahmad Dahlan, dan Ki Hadjar Dewantara untuk menentang penjajah pada massa lalu, sungguh sangat berarti apabila kita cermati dengan saksama. Untuk itu tidak terlalu berlebihan apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar selalu berupaya mengejawantahkan nilai-nilai pendidikan yang telah dirintis oleh beliau-beliau itu, sebagai bentuk refteksi penghargaan sekaligus bentuk penghormatan yang tiada terhingga kepada para tokoh pendidikan tersebut di bumi Nusantara tercinta ini. Di samping itu, betapa jiwa nasionalisme dan kejuangannya serta wawasan kebangsaan yang dimiliki para pendahulu kita sangat besar, bahkan rela berkorban demi nusa dan bangsa. Lantas bagaimana dalam perkembangan sekarang?

Banyak para pemuda kita yang tidak memiliki jiwa besar, bahkan sangat mengkhawatirkan, jangan-jangan terhadap lagu kebangsaan kita pun sudah tidak hafal lagi. Maka kita sangat yakin dan semakin sadar, bahwa hanya melalui dunia pendidikanlah bangsa kita akan menjadi maju, sehingga dapat mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain di dunia, sekaligus merupakan barometer terhadap kualitas sumber daya manusia.

Apabila kita amati secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional kita masih jauh dari harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut banyak kalangan, bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian, bahkan terjadi adanya degradasi moral.

Kita harus sadar, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian ini sangat penting, bahkan sangat mendesak dan mutlak adanya (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Hal ini cukup beralasan. Mengapa mutlak diperlukan? Karena adanya krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini belum ada solusi secara jelas dan tegas, lebih banyak berupa wacana yang seolah-olah bangsa ini diajak dalam dunia mimpi. Tentu masih ingat beberapa waktu yang lalu Pemerintah mengeluarkan pandangan, bahwa bangsa kita akan makmur dan sejahtera baru akan terjadi nanti di tahun 2030 (Tim Penyusun UM Surabaya,  2011:1-2).

Suatu pemimpin bangsa yang besar untuk mengajak bangsa atau rakyatnya menjadi "pemimpi" (orang yang bermimpi) dalam menggapai kemakmuran yang dicita-citakan. Banyak kalangan masyarakat yang mempunyai pandangan terhadap istilah "kelatahan sosial" yang terjadi akhir-akhir ini. Hal ini memang terjadi dengan berbagai peristiwa, seperti tuntutan demokrasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa aturan, tuntutan otonomi sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan yang mempersatukan seluruh komponen bangsa, hak asasi manusia yang terkadang mendahulukan hak dari pada kewajiban. Pada akhirnya berkembang ke arah berlakunya hukum rimba yang memicu kesukubangsaan (ethnicity). Kerancuan ini menyebabkan orang frustasi dan cenderung meluapkan perasaan tanpa kendali dalam bentuk "amuk massa atau amuk sosial" serta tindakan anarkis lainnya.

Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan nasional pada saat yang sama  tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan peran pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan nasional di Indonesia memikul beban lebih berat.  Pendidikan berperan bukan hanya merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi sebagai pembudayaan yang tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan watak (nation and character building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi notion building atau dalam bahasa lebih populer menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab. Oleh karena itu, reformasi pendidikan sangat mutlak diperlukan untuk membangun karakter atau watak suatu bangsa, bahkan merupakan kebutuhan mendesak. Reformasi kehidupan nasional secara singkat, pada intinya bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih genuinely dan authentically demokratis dan berkeadaban, sehingga betul-betul menjadi Indonesia baru yang madani, yang bersatu padu (integrated).

Di samping itu, peran pendidikan nasional dengan berbagai jenjang dan jalurnya merupakan sarana paling strategis untuk mengasuh, membesarkan dan mengembangkan warga negara yang demokratis dan memiliki keadaban (civility) kemampuan, keterampilan, etos dan motivasi serta berpartisipasi aktif, merupakan ciri dan karakter paling pokok dari suatu tatanan masyarakat madani Indonesia. Jangan sampai yang terjadi malah kekerasan yang meregenerasi seperti halnya kasus yang terjadi di lembaga pendidikan IPDN yang menjadi sorotan tajam masyarakat beberapa waktu yang lalu. Kekerasan fisik yang mengorbankan nyawa dan harta benda tersebut, sangat jelas terkait pula dengan masih bertahannya "kekerasan struktural" (structural violence) pada tingkat tertentu. Akibatnya, perdamaian hati secara hakiki tidak atau belum berhasil diwujudkan.

Tidak perlu disangsikan lagi bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, lembaga pendidikan dan lingkungan serta masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan.

 

Implementasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam dalam Pembentukan Karakter Siswa

Salah satu fungsi pendidikan yaitu proses memanusiakan manusia dalam rangka mewujudkan budayanya. Manusia diciptakan dalam keadaan fitrah. Fitrah dalam Al-Qur’an pada dasarnya memiliki arti potensi yaitu kesiapan manusia untuk menerima kondisi yang ada di sekelilingnya dan mampu menghadapi tantangan serta mempertahankan dirinya untuk survive dengan tetap berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunnah.  Namun dalam dunia pendidikan, Kurikulum Pendidikan Agama Islam dalam sekolah berfungsi sebagai :

a.     Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah di tanamkan dalam lingkungan keluarga.

b.     Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

c.     Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.

d.     Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.

e.     Pencegahan yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya munuju manusia Indonesia seutuhnya.

f.      Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nir-nyata), sistem dan fungsionalnya.

g.     Penyaluran yaitu untuk menyalurkana anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat di manfa’atkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.

Implementasi kurikulum  Pendidikan Agama Islam dilakukan dengan metode yang telah ditentukan. Pendidikan karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia yakni fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb. Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient);  tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient). Sesuai dengan tujuan pendidikan yang dikembangkan, metode pembelajaran, goal, output dan outcome pembelajarannya harus dapat berjalan secara simultan (Tobroni, 2008:53).

 Pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada anak didik. Tujuannya adalah agar anak didik mengenal dan bertaqwa kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah bantuan untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya.Untuk mengembangkan kemampuan membaca, dikembangkan metode tilawah tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena. Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal dikembangkan metode ta’lîm, yaitu sebuah metode pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif melalui pengajaran.

Dalam pendidikan akal sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki pemikiran jauh ke depan, kreatif dan inovatif. Sedangkan output-nya adalah anak yang memiliki sikap ilmiah, ulûl albâb dan mujtahid. Ulul Albab adalah orang yang mampu mendayagunakan potensi pikir (kecerdasan intelektual/IQ) dan potensi dzikirnya untuk memahami fenomena ciptaan Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk kepentingan kemanusiaan. Sedangkan mujtahid adalah orang mampu memecahkan persoalan dengan kemampuan intelektualnya. Hasilnya yaitu ijtihad (tindakannya) dapat berupa ilmu pengetahuan maupun teknologi. Outcome dari pendidikan akal (IQ) terbentuknya anak yang saleh (waladun shalih).

Pendayagunaan potensi pikir dan zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan melahirkan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Dan kemampuan mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada guru dan siswa untuk meraih prestasi yang tinggi. Menurut Abdul Jalil, ada 4 macam metode yang dapat digunakan.

Pertama; metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa. Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.

Kedua; metode ta’dîb digunakan untuk membangkitkan “raksasa tidur”, kalbu (EQ) dalam diri anak didik. Ta’dîb lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan out put-nya adalah anak yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil, mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu (mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau jabatannya”.

Ketiga; metode tazkiyah digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih berfungsi untuk mensucikan jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam pendidikan Jiwa sasarannya adalah terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening) dan damai (bahagia). Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah), ulûl arhâm dan tazkiyah. Ulûl arhâm adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa untuk mengasihi dan menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan yang mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).

Keempat; metode tadlrîb (latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik. Sasaran (goal) dari tadlrîb adalah terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Output-nya adalah terbentuknya anaknya yang mampu bekerja keras, pejuang yang ulet, tangguh dan seorang mujahid. Mujahid adalah orang yang mampu memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan tertentu dengan kekuatan, kecepatan dan hasil maksimal (Syaifuddin, 2004:57).

Sebenarnya metode pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua dikemukakan secara detail. Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk “mission sacreed” yaitu sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak didik agar menjadi anak yang saleh. Semua pendekatan dan metode pendidikan dan pembelajaran haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya anak yang berkarakter taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur.  Metode pembelajaran mengemban misi suci atau “mission sacreed” karena metode sama pentingnya dengan substansi dan tujuan pembelajaran itu sendiri. Dalam jargon pendidikan dikatakan: al-thariqatu ahammu min al-maddah, wa al-ustadzu ahammu min al-thariqah.

Maka dari  itu dalam Pendidikan Karakter dan Character Building di sekolah perlu sangatlah penting dan strategis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter memiliki arti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain (Depdikbud 1994:342). Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.

Dilihat dari sudut pengertian ini, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan.

Dalam perspektif penulis bangsa yang berkarakter memiliki ciri-ciri sebagai berikut (disarikan dari berbagai sumber) yaitu berpegang teguh pada nilai budaya dan agamanya serta demokratis dan multikultural, mencintai dan rela berkorban untuk bangsa dan negaranya, menjunjung tinggi hukum dan peraturan yang berlaku, dan memiliki integritas moral dan intelektual, dedikasi, etos kerja dan altruistik.

Dalam rangka membangun kehidupan berbangsa dan bernegara tentunya tidak cukup hanya melakukan pembangunan secara fisik saja begitu juga ditentukan pembangunan non fisik yaitu pembangunan sumber daya manusianya. Dalam hal ini keberhasilan satu bangsa untuk mencapai suatu tujuan tidak hanya ditentukan oleh dimilikinya sumber daya alam saja akan tetapi juga sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia karena dengan adanya kualitas sumber daya manusia tentu dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan pengelolaan sumber daya alam yang ada. Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden RI Pertama kita Ir. Soekarno sebagai salah seorang pendiri dari negara dan bangsa ini, beliau pernah mengemukakan “bahwa membangun suatu bangsa itu tidak harus dimulai dari pembangunan fisik dan ekonomi semata.

Akan tetapi yang lebih penting dibangun terlebih dahulu adalah keperibadian suatu bangsa itu sendiri. Apa itu kepribadian bangsa? Kepribadian bangsa adalah kepribadian yang telah ada sejak lama. Kepribadian tersebut tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, dalam adat istiadat peraturan hidup yang tumbuh berkembang sejak berpuluh-puluh tahun, beratus-ratus tahun, bahkan berabad abad tahun lalu, jauh sebelum keberadaan suatu bangsa. Jadi kepribadian bangsa Indonesia adalah jati diri bangsa Indonesia yang telah tumbuh berkembang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (NKRI), yang biasa juga disebut bumi Nusantara. Kita sebagai anak bangsa harus pandai menggali dan menumbuh kembangkan keperibadian tersebut, bahkan sari pati dari kepribadian tersebut telah menjadi dasar falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

Penutup

Pendidikan karakter merupakan amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 adalah “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Pendidikan Agama Islam sebagai bagian dari sistem Pendidikan Nasional tentu secara  langsung mempunyai tanggung jawab konstitusional untuk berkontribusi membangun character building  bangsa ini.

 

 

 


Daftar Pustaka

 

Abdullah, Etika Islam, (Surabaya, Bina Ilmu, 1995)

Azyumardi Azra, Prof. Dr., "Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi", (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah Press, 2004)

Departemen Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta Pn. Balai Pustaka, 1994)

Departemen Pendidikan, Modul Diklat LAN RI, (Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional, 2010)

Direktorat Pembinaan SMP, Pendidikan Karakter SMP, (Jakarta, Ditjen Mendiknakes Kementerian Pendidikan Nasional, 2010)

Ditjen Mandikdasmen-Kementrian Pendidikan Nasional, Pendidikan karakter, (Jakarta, Kemendiknas Press, 2010)

Hadi, H., Nation and Character Building Melalui Pemahaman Wawasan Kebangsaan, (Jakarta, Direktorat Politik, Komunikasi, dan Informasi Bappenas, 1987)

Harian Kompas, Penddikan Karakter  (Jakarta, 16/4, 2006)

Indria Samego,  Membangun Indonesia ke Depan, (Jakarta, Republika, PP Abdi bangsa, 2010)

Kemendikbud. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Nomor 20 Tahun 2003 (Jakarta, 2003)

KH. Abdusshomad Bukhari, Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur,  Dalam pernyataannya tentang NKRI, (Surabaya, MUI Press Jatim, 2004)

Sulastomo, Lengser Keprabon, perjalanan terakhir Jend. Besar (purn) HM. Soeharto. (Jakarta Raja Grafindo Persada, 1998)

Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum Terpadu IPTEK dan IMTAQ. (Ciputat.  PT. Ciputat Press Group, 2004)

Tim Penyusun UMSurabaya,  Best Practices Pendidikan Karakter UMSurabaya, (Surabaya UMSurabaya Press, 2011)

Tobroni, Pendidikan Islam, Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas, (Malang, UMM Press, 2008)

Yunus Salam,  Sejarah Muhammadiyah,  dalam Bung Karno “ Di Bawah Bendera Revolusi” , (Jakarta, Bulan Bintang, 1972)

 

)* Penulis adalah Pengawas Sekolah Muda Pada Kantor  Kementerian Agama Kabupaten Bangkalan

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kurikulum merdeka

peresmian TK Islam Al-Munqidz

Kuliah Tatap Muka..?